Konflik Kepentingan Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 Tentang Batas Usia Capres dan Cawapres Menurut UU Kekuasaan Kehakiman
Abstract
Mahkamah Konstitusi merupakan Lembaga yang kedudukannya sejajar dengan lembaga tinggi seperti MPR, DPR, Presiden dan lembaga tinggi lainnya. Mahkamah Konstitusi dalam tugasnya yaitu menjalankan kekuasaan kehakiman dibidang konstitusional. Namun belakangan ini kepercayaan masyarakat terhadap Mahkamah Konstitusi sangat menurun yang disebabkan adanya dugaan potensi konflik kepentingan yang ada di Mahkamah Konstitusi pada Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang Batas Usia Capres dan Cawapres. Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu lembaga yang menegakkan hukum akan tetapi pada faktanya Mahkamah Konstitusi juga melanggar Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan kehakiman. Ketua Hakim Anwar Usman berpotensi melalukan keberpihakan dan konflik kepentingan atas Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang sedang diperkarakan di MK. Dalam pokok perkara tersebut nama Gibran Rakabuming Raka yang berkedukan sebagai keponakan dari Anwar Usman, akan tetapi Anwar Usman yang menjabat sebagai Ketua Hakim Mahkamah Konstitusi tidak mundur dari jabatannya. Sehingga dalam putusan 90/PUU-XXI/2023 telah terjadi konflik kepentingan yang dibuktikan dengan adanya pertama, kecacatan hukum formil dalam legal standing pemohon, kedua adanya keberpihakan anwar usman dalam proses persidangan dan pembuktian, ketiga adanya kekeliaruan dalam pertimbangan hakim dimana 5 hakim yang setuju memuliki alasan yang berbeda (Concurring Opinion). Kemudian adanya cacat materil dalam permohonan tersebut yaitu pertama tercantumnya nama Gibran Rakabuming Raka dalam permohonan, adanya ikonsisteni Mahkamah Konstitusi serta sanksi pelanggaran kode etik berat yang diberikan kepada Anwar Usman berupa pemecatan secara tidak hormat. Hal tersebut memiliki efek yaitu menurunya legitimasi masyarakt terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi.
References
Bagus, D. (2023). Tafsir Serampangan, Ikonsistensi Logika, dan Konflik Kepentingan Mahkamah Konstitusi Dalam Putusan No.90/PUU-XXI/2023. Kontras.
Chandranegara, I. S. (2021). Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Sinar Grafika.
Faiz, P. M. (2016). Relevansi Doktrin Negative Legislator. Majalah Konstitusi, 13–14.
Ismadi, R. (2021). Kewenangan Menguji Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. UIN Ar-Raniry Banda Aceh.
Marzuki, P. M. (2010). Penelitian hukum (6th ed.). Kencana Prenada Media Grup.
Nawas, A. (2021). Kedudukan Dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi Sebagai Pelaku Kekuasaan Kehakiman. Jurnal Iblam Law Review, 1(2), 158–159.
Pangaribuan, R. R. F., Palilingan, T. N., & Mewengkang, F. S. (2023). Pembagian Kekuasaan Dalam Sistem Pemerintahan di Indonesia. Lex Administratum, 11(5).
Romadhona. (2023). Pakar Umsida Tentang Putusan MK: Kedudukan Penggugat Hingga Angin Segar Pemimpin Muda. UMSIDA.
Salam, A. (2015). Pengaruh politik dalam pembentukan hukum di Indonesia. Mazahib, 14(1), 119–131.
Sari, A. F. P. (2022). Mahkamah Konstitusi Sebagai Negative Legislator dan Positive Legislator. Jurnal Demokrasi Dan Ketahan Nasional, 1(4), 681–691. https://doi.org/https://doi.org/10.13057/souvereignty.v1i4.112
Suparto. (2016). Pemisahan Kekuasaan, Konstitusi dan Kekuasaan Kehakiman Yang Independen Menurut Islam. Jurnal Selat, 4(1), 115–129.
Wantu, F. M., & Rasyid, U. (2020). Redefinisi Kewenangan Komisi Yudisial Dalam Konstitusi: Upaya Mengharmonisasikan Putusan Pelaku Kekuasaan Kehakiman Indonesia. Jurnal Majelis, 8(1), 33–60.
Copyright (c) 2024 Muhammad Fathur Rizky, Edi Yuhermasyah, Azmil Umur
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License.